Kunci dalam Membangun Karier: Resiliensi Mode On


Resiliensi sepertinya adalah kemampuan yang paling dicari di abad 21 ini. Gimana, nggak? Kehidupan tidaklah selalu mulus seperti jalan tol, ada tantangan, masalah, dan tekanan yang dapat menghampiri kapan pun dan di mana pun, termasuk di tempat kerja. Kriteria penerimaan karyawan baru saat ini sering mencantumkan persyaratan, “mampu bekerja di bawah tekanan”. Hal ini menyiratkan bahwa perusahaan membutuhkan karyawan yang memiliki daya resiliensi yang baik.


Sebenarnya, apa sih definisi resiliensi itu? Ibaratnya seperti bola basket yang jatuh ke bawah, lalu bisa memantul kembali dengan cepat. Resiliensilah yang membuat bola basket tersebut bisa naik kembali. Resiliensi artinya kemampuan seseorang untuk cepat bangkit dari masalah yang sedang dihadapi.


Orang yang memiliki resiliensi yang baik diklaim dapat mengelola stres dengan baik dan mampu memandang masalah dari sudut pandang yang positif. Hal ini menjadi salah satu kunci untuk mengembangkan karier di tempat kerja, termasuk promosi jabatan. Mengapa? Tantangan yang semakin kompleks di suatu jabatan seiring dengan bertambahnya tanggung jawab dapat menjadi sumber tekanan. Bila kita tidak terampil menghadapinya, hal ini bisa berdampak terhadap kinerja. Oleh karena itu, tidak hanya kemampuan problem solving saja yang dibutuhkan dalam bekerja. Ketangguhan dalam menghadapi masalah juga penting. Untuk itulah resiliensi diperlukan.


Lalu, gimana caranya supaya kita bisa memiliki kemampuan yang penting ini? Buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring punya jawabannya. Filosofi Teras ini sebenarnya merupakan filosofi dari Yunani Kuno, yang dikenal orang-orang dengan istilah Stoisisme. Prinsip utama Stoisisme adalah “hidup selaras dengan alam”, maksudnya adalah manusia hidup sesuai dengan desain penciptaannya, yaitu makhluk yang memiliki nalar/pikiran. Cara manusia hidup sesuai nalarnya adalah dengan fokus pada hal yang bisa dikendalikan, bukan terhadap hal yang tidak bisa dikendalikan. Istilah ini disebut sebagai Dikotomi Kendali dalam Stoisisme.



Dalam bukunya, Henry Manampiring juga menambahkan pandangan William Irvine yang merevisi Dikotomi Kendali menjadi Trikotomi Kendali. Ada hal yang bisa kita kendalikan, ada hal yang tidak bisa kita kendalikan, tetapi  juga ada hal yang sebagian bisa kita kendalikan dan tidak. Contohnya adalah proyek kita diterima atau tidak oleh klien. Diterima atau tidak, itu adalah hal yang tidak bisa kita kendalikan. Namun ada hal yang bisa kita usahakan, yakni presentasi sebaik mungkin dan proposal yang menarik untuk klien. Kita dianjurkan untuk memisahkan hasil (sebagai hal yang tidak dapat dikendalikan) dan target diri sendiri (yaitu bekerja dengan sebaik mungkin) sebagai hal yang sepenuhnya berada di bawah kendali kita. Tugas kita dalam hidup adalah fokus pada hal pertama dan ketiga dalam Trikotomi Kendali.


Cara lain manusia menggunakan nalarnya adalah saat menghadapi kejadian yang tidak menyenangkan. Terkadang, kita mudah menjadi reaktif saat menghadapi masalah. Kereaktifan ini disebabkan oleh pemaknaan atas suatu peristiwa yang kadang tidak tepat. Bukan masalah yang membuat kita jatuh, tetapi reaksi terhadap masalah yang menjatuhkan kita. Stoisisme mengajarkan kita untuk memiliki jeda dan memikirkan apakah hal yang terjadi merupakan sesuatu yang dapat kita kendalikan atau tidak. Harapannya setelah bisa menilai dengan tepat, kita memberikan respon dengan bijak.


Kedua hal di atas menolong kita untuk memiliki regulasi emosi yang baik. Regulasi emosi yang baik membentuk resiliensi yang baik. Selain itu, buku Filosofi Teras memiliki pandangan yang menarik tentang “mencintai rasa sakit yang dimiliki.” Istilah kerennya adalah amor fati (love of fate), menerima apa adanya masalah yang dialami, lalu belajar “mencintai” kondisi yang muncul akibat masalah tersebut. Kita memberikan pemaknaan yang berbeda atas peristiwa yang tidak mengenakkan dari sudut pandang yang positif. Seperti, “apakah yang bisa kupelajari dari masalah yang tidak mengenakkan ini?” Sikap tersebut membantu orang untuk tangguh dan cepat pulih dari masalah yang sedang dihadapi, termasuk masalah di tempat kerja. Akhirnya, kombinasi regulasi emosi yang baik dan sikap amor fati membentuk kemampuan resiliensi dalam lingkungan kerja. Yuk, kita latih sifat resiliensi mulai dari sekarang!


Oleh: Stefiani Mulia Ekaputri, Career Class Angkatan 2022.